Senin, 16 Maret 2015

SEJARAH ARKEOLOGI BAWAH AIR



EKSPANSI[1] PARA ARKEOLOG DI ISTANA POSEIDON[2]

Jika berbicara mengenai sejarah perkembangan arkeologi secara umum, pasti erat kaitannya dengan harta karun. Para pemburu harta karun (treasure hunter) atau antiquarian yang selalu melakukan kegiatan pencarian benda-benda kuno menjadikan hobi mereka sebagai fondasi kemunculan arkeologi saat ini. Perkembangan arkeologi menuju ilmu pengetahuan sangat didasarkan pada pertimbangan-pertimbangan ilmiah dan kemajuan pemikiran filsafat yang berdampak pada paradigma arkeologi, serta perkembangan teknologi yang mempermudah pekerjaan para arkeolog. Rasa haus akan ilmu pengetahuan tersebut memaksa manusia untuk melakukan ‘ekspansi’ ke seluruh pelosok bumi untuk menemukan peradaban kuno, tentunya hal tersebut masih sangat familiar dengan hobi saat kemunculan awal arkeologi. Ekspansi yang dilakukan pada saat itu tentunya memiliki keterbatasan dari aspek ruang, yakni hanya di darat saja dalam artian, ekspansi yang dilakukan tidak mencangkup keseluruhan wilayah di bumi. Bagaimana dengan air? Bumi ini hampir seluruhnya terdiri dari air, baik itu yang nampak dipermukaan atau yang mengalir dibawah tanah.
Nah, tulisan kali ini akan membahas mengenai ekspansi pengetahuan mengenai benda-benda kuno (baik arkeolog atau para antiquarian) di wilayah perairan terbuka, khususnya tinggalan-tinggalan kuno di bawah air. Fokus utama dari tulisan ini adalah sejarah perkembangan Arkeologi Bawah Air (ABA) yang merupakan bagian dari Arkeologi Maritim (AM). Kajian ABA adalah tinggalan-tinggalan arkeologis yang berada dibawah air[3]. Bedanya dengan AM adalah dari segi cakupan ruang penelitian, dimana cakupan kajian AM lebih luas daripada ABA karena AM juga membahas mengenai kehidupan pesisir dan kebudayaan-kebudayaan yang identik dengan adaptasi manusia terhadap kehidupan di wilayah sekitar perairan. Secara umum, kemunculan ABA sama seperti kemunculan arkeologi yang pada awalnya terjadi akibat faktor ketidaksengajaan dan hobi. Tidak usah berpanjang lebar, kita langsung saja memulai pembahasannya.

The Shipwreck’s Treasure
Sebenarnya, kegiatan pencarian benda-benda berharga di perairan terbuka telah dimulai semenjak adanya aktivitas pengiriman barang lintas pulau. Yah, tentu saja tidak semua kapal yang sampai ke tujuan dengan teknologi perkapalan saat itu (bahkan sampai sekarang). Kondisi badai di laut yang ekstrim dan kemampuan kapal berlayar, apalagi kapal-kapal ini memanfaatkan tenaga angin, tentu mengakibatkan karamnya kapal-kapal tersebut. Selain itu, aktivitas pengiriman barang-barang tersebut telah menarik perhatian para perompak-perompak untuk melakukan penjarahan. Kekacauan yang disebabkan perompak tersebut, ditambah kondisi laut yang terkadang tidak dapat diprediksi juga menjadi penyebab musibah kapal karam. Tak hanya itu, kapal-kapal para bajak laut itu juga ikut tenggelam bersama harta hasil jarahan mereka. Dimulailah petualangan mencari harta karun dasar laut tersebut. Sebagai bukti, sejarah Yunani yang di tulis oleh Herodotus mencatat bahwa ada seorang penyelam bernama Scyllis yang dipekerjakan Raja Persia Xerxes untuk mengambil harta karun yang tenggelam pada abad ke 5 SM.
Selain harta karun, pencarian kapal-kapal karam juga ada mulai banyak dilakukan. Sejarah mencatat bahwa pada awalnya, penemuan kapal-kapal karam terjadi karena faktor ketidaksengajaan. Pada abad XI, Abbat Ealdred dan St. Albans mengirimkan orang-orangnya ke reruntuhan Verulamium untuk mengumpulkan batu-batuan untuk membangun Biara barunya. Selama memgumpulkan batu-batuan terebut, secara tidak sengaja mereka menemukan kayu dan paku yang merupakan bagian dari tiang puncak sebuah kapal. Pada tahun 1446, Leon Battuta Alberti melakukan penyelaman untuk melakukan penyelamatan terhadap kapal-kapal Romawi yang karam di danau Nemi, Italia. Sedangkan pada tahun 1535, Francisco Demarchi melakukan penelitian kapal Caligula dari kerajaan Romawi di Italia (Mulyadi, 2015).
Pada mulanya, aktivitas pencarian benda-benda antik didasar laut hanya difokuskan pada kapal karam beserta muatan-muatannya dengan tujuan ekonomi dan sekedar hobi. Aktivitas menyelam tersebut dilakukan di perairan Italia dan kawasan Laut Tengah yang memisahkan Benua Eropa dan Benua Afrika pada abad XVII yang diprakarsai oleh Bells. Akan tetapi sejak ditemukannya reruntuhan-reruntuhan kuno, bekas peradaban manusia yang tenggelam di dasar laut, aktivitas pencarian harta karun di dasar laut bertambah. Aktivitas bawar air tersebut mulai sering dilakukan seiring kemajuan teknologi selam yang dimulai sejak penemuan diving suit oleh John Lethbridge pada tahun 1715.

Arkeolog dan Poseidon
Jika melihat sejarah perkembangan aktivitas penyelaman tersebut, kita dapat menarik benang merah antara arkeologi dengan perburuan harta tersebut. Terkadang para pemburu harta karun menggabungkannya juga dengan penyelidikan arkeologi yang sebenarnya (Muckelroy, 1978 : 45). Penggunaan metode-metode arkeologi dalam pencarian harta karun tersebut kemudian menjadi cikal bakal lahirnya studi ABA. Maka, pada tahun 1939 munculah usulan untuk melakukan penelitian ABA yang dicetuskan oleh George Bass yang melihat potensi tinggalan-tinggalan arkeologis di bawah air. Penelitian-penelitian tersebut semakin efisien sejak penemuan peralatan selam Scuba oleh Jacques-Yves Cousteau dan Emile Gagnan pada tahun 1943. Penelitian tersebut masih sangat tebatas karena izin yang dipegang para arkeolog masih kurang.
Setelah perang dunia II berakhir arkeologi bawah air mulai berkembang dengan di lakukannya beberapa penelitian arkeologi bawah air di berbagai lokasi, seperti di Laut Mediterania dan Herculaneum pada tahun 1958, Mexico Underwater Archaeologi Society mendirikan CEDAM, sebuah organisasi yang mengkoordinir kegiatan Arkeologi Bawah Air dan melindungi situs-situsnya. Pada tahun 1959, UNESCO memberikan keputusan untuk dilakukannya berbagai ekspedisi ABA. Pada tahun 1973 Australia, UU Arkeologi Maritim Australia Barat disahkan untuk melindungi kapal karam sebelum tahun 1900. Kemudian, Pada tahun 1974 bermunculan institusi yang menyelenggarakan pendidikan dan pelatihan yang berhubungan dengan arkeologi bawah air, seperti Universitas Calefornia, Sandiago, Universitas Haifa di Israel dan Universitas Australia Barat di Fremantle.
Tahun 1976, dikembangkan Aksi Sejarah Kapal Karam oleh pemerintah federal Australia yang menjadi tonggak penting bagi manajemen kapal karam di Australia. Selain itu, pada saat yang sama, muncul organisasi-organisasi berbasis hobi pada aktivitas menyelam dan bangkai-bangkai karam yang secara sukarela membantu kegiatan-kegiatan penelitian bawah air. Organisasi-organisasi ini mendorong pemerintah untuk membuat UU kapal karam dan manajemen lembaga sejarah. Definisi mengenai ABA juga telah menjadi luas dan objek utama penelitian AM dan ABA adalah orangnya, bukan hanya kapalnya (Muckelroy, 1978).  Namun pendapat tersebut banyak ditentang oleh para ahli arkeologi maritim awal. Sesuai dengan gerakan ke arah CRM, ekskavasi terbatas, pengumpulan data yang berbasis pada pemulihan permukaan, metode pengambilan sampel dan penelitian sejarah, menjadi pilihan untuk kajian kapal karam akhir 1980an dan awal 1990an. (McCarthy dalam Staniforth dan Nash, 2006 : 3). Hal tersebut tentu saja berdampak bagi perkembangan ABA di seluruh dunia, termasuk Indonesia.

Arkeologi Bawah Air di Nusantara
Di Indonesia, AM terkenal dikalangan arkeolog lewat penelitian perahu kuno yang dipelopori oleh Pierre-Yves Manguin pada tahun 1977 dan ABA mulai dilirik oleh arkeolog pada tahun 1978, namun hal tersebut menemui berbagai kendala, seperti peralatan yang mahal ditambah kemampuan menyelam arkeolog kurang. Akhirnya, pada 1979, seorang tenaga peneliti Indonesia, yakni Nurhadi, berkesempatan mengikuti latihan ABA yang dikaitkan dengan AM di Thailand. Penelitian itu dimulai pada 1980, ketika SPAFA (Organisasi Para Menteri Pendidikan dan Kebudayaan ASEAN) menyelenggarakan program ABA dan AM. Setahun kemudian, yakni pada tahun 1981, Pusat Penelitian Arkeologi Nasional (Puslit Arkenas) menguji coba kegiatan ABA, bekerja sama dengan Pasukan Katak dari Armada RI Wilayah Timur (Susantio, 2010).
Secara institusional, Direktorat Jenderal Kebudayaan, Departemen Pendidikan dan kebudayaan membentuk Seksi Pengendalian Peninggalan Bawah air yang bertugas mengurusi peninggalan sumberdaya budaya bawah air. Perkembangan ABA pun mulai berkembang pesat dengan alasan bahwa sumberdaya budaya di bawah air di Indonesia sangat melimpah dan juga ketakutan para peneliti akan adanya aktivitas penjarahan tinggalan-tinggalan arkeologis tersebut. Institusi arkeologi juga melakukan kegiatan pendidikan dan pelatihan dalam rangka menambah sumberdaya manusia di bidang ABA, yang selama ini jumlahnya sangat kurang (Hakim, 2013). 
Berdasarkan sumber Penelitian dan Pengembangan (Litbang) Oceanologi tahun 2006, tercatat sekitar 463 titik situs ABA, Arsip Organisasi Arkeologi di Belanda sekitar 245 kapal VOC, dan Tony Wells’s Shipwrecks & Sunken Tresure, sekitar 186 kapal VOC. Kegiatan penelitian terhadap situs-situs bawah air gencar dilakukan di perairan nusantara, misalnya penelitian pada tahun 1990an di Pulau Buaya, kapal kargo Tak Sing, Intan, Tang, Nlanakan, Wreck dan tahun 2000an dilakukan penelitian di Selat Karimata, Perairan Utara Cirebon, Karang Haleputan Riau, Batang Selatan Riau, Karang Tombak, Bintang Utara Riau. Kegiatan survei ABA juga sudah banyak dilakukan seperti kegiatan survei yang diprogramkan oleh BPPP Makassar setiap tahunnya (Hakim, 2013).


Referensi
Hakim, Lukman. 2013. Sejarah dan Ruang Lingkup Arkeologi Bawah Air, (Online), (http://belajarjadiarkeolog.blogspot.com, diakses 9 Februari 2015).
Komunitas Diving PARADISE Universitas Padjajaran. 2010. Sejarah Selam, (Online), (http://paradiseunpad.blogspot.com, diakses 9 Februari 2015). 
McCarthy, Michael. 2006. Maritime Archaeology in Autralasia: Reviews and Overviews. Dalam Mark Staniforth & Michael Nash (Eds.), Maritime Archaeology Australian Approaches (hlm. 1-12). New York: Springer.
Muckelroy, Keith. 1978. Maritime Archaeology. New York: Cambridge University Press. 
Mulyadi, Yadi. 2015. “Arkeologi Bawah Air”. Bahan Ajar. Makassar: Jurusan Arkeologi Fakultas Sastra Universitas Hasanuddin.
Susantio, Djulianto. 2010. Arkeologi Maritim dan Arkeologi Bawah Air, (Online), (https://hurahura.wordpress.com/, diakses 9 Februari 2015).


[1] Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), ekspansi adalah perluasan wilayah/daerah dengan menduduki wilayah lain.
[2] Poseidon (Poseidó̱n) adalah dewa penguasa laut, sungai, dan danau dalam mitologi Yunani. Sering juga dianggap sebagai laut itu sendiri.
[3] Yang dimaksud air dalam tulisan ini adalah perairan tebuka, seperti laut, danau, sungai, dan rawa.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar